Senin, 30 April 2012

Tafsir Sufi


                             Tafsir Sufi 

A.           Al-Fatihah Ayat 1-3
         
 "Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam"
"Yang Maha Pengasih Lagi Maha Pemurah"
"Yang menjadi Raja di hari agama"
"Alhamd" (Puji) baik secara aktual maupun verbal adalah bentuk dari manifestasi keparipurnaan dan suksesnya suatu tujuan, dari segala yang ada. Sebab Hamdalah itu merupakan bentuk dari pujian pembuka, sekaligus merupakan pujian indah bagi yang berhak mendapatkannya.

Segala yang
 maujud ini secara keseluruhan merupakan keistemewaan dan kekhasan, disamping semuanya berorientasi pada tujuan dari pujian itu sendiri. Seluruh keparipumaan muncul dari potensi-potensi menjadi aktual, dan semuanya senantiasa menyucikan dan memuji-Nya. Sebagaimana dalam firman Allah swt:

"Tak satu pun dari segala yang ada kecuali selalu bertasbih dan memuji-Nya".

Bentuk tasbihnya adalah penyuciannya dari dualitas, dari sifat-sifat yang kurang dan lemah, dengan hanya menyandarkan kepada-Nya saja, memberikan petunjuk atas Ketunggalan dan Kekuasaan-Nya. Bentuk dari pujian jagad raya ini adalah penampakan keparipurnaannya pada struktur jagad secara tertib ini, kemudian memanifestasi pada sifat-sifat
 Jalaliyah (Keagungan dan kebesaran) dan sifat-sifat Jamaliyah (Keindahan).

Jagad raya senantiasa memiliki kesadaran darimana awal mulanya, bagaimana penjagaan atas kelestariannya dan pengaturannya, sebagai cermin konotatif dari arti hakiki
 Rububiyah bagi semesta alam. Yakni bagi segala sesuatu yang terkandung dalam Ilmu Allah. Seperti sebuah tanda bagi yang ditandai, Juga mengandung makna globalitas keselamatan yang penuh karena mengandung arti Ilmu dan sekaligus mengandung makna mengalahkan. Yang terkandung itu juga berarti kebajikan-kebajikan yang umum maupun khusus. Yaitu nikmat lahiriyah maupun nikmat batiniyah. Nikmat lahiriyah seperti kesehalan dan rizki, sedangkan nikmat batiniyah seperti pengetahuan dan ma'rifat.

Dari segi pengertian totalitasnya adalah makna dari sifat Diraja bagi segala sesuatu yang ada di hari akhir. Sebab tidak ada yang memberikan batasan kecuali Dzat Yang Disembah, dengan pahala nikmat abadi, jauh dari kefanaan di saat zuhudnya hamba, dan ketika
 Af'al Allah Tajalli saat af'alhamba sirna, penggantian sifat hamba oleh sifat Nya ketika hamba dalam kondisi keterhangusan, secara otomatis pengabadian melalui Dzat-Nya, dianugerahkan wujud hakiki ketika dalam kefanaan hamba.

Maka pujian dengan segala substansinya itu mutlak hanya bagi Allah Ta'ala, secara azali maupun abadi menurut proporsi hak hamba melalui Dzat-Nya.
Jika digambarkan permulaan dan akhir dari tujuan, serta unsur diantara awal dan akhir dalam ungkapan tahapan
 Al-Jam'u (terglobalisir), maka bisa diurai sebagai berikut: Bahwa Allah itu adalah Yang Memuji, dan Yang dipuji, baik dari segi terglobalisir maupun terinci. Abid dan Ma'bud juga demikian, awal sekaligus akhir.

Ketika Allah ber-tajalli terhadap hamba-Nya dalam kalam-Nya, melalui Sifat-sifat-Nya, maka sang hamba menyaksikan-Nya dengan penuh keagungan dan kharisma-Nya, para hamba menyaksikan keparipurnaan kuasa-Nya dan kebesaranNya. Lalu para hamba itu berbicara kepada-Nya baik melalui ucapan maupun tindakan melalui bentuk ibadah terhadap-Nya. Lalu mereka meminta pertolongan kepada-Nya, sebab tak ada yang lain untuk disembah kecuali hanya Dia. Tak ada upaya dan daya kekuatan bagi seorang pun kecuali atas izin-Nya. Maka seandainya para hamba itu mampu hadir (di hadiratnya) niscaya gerak dan diamnya pun merupakan ibadah bagi-Nya dim bersamaNya. Mereka dalam shalat-shalatnya senantiasa langgeng, mendoa dengan lisan cinta atas penyaksian mereka pada Kemahaindah-Nya, dari sisi mana saja dan dimana pun mereka berhadap.


Al-Fatihah Ayat 4-5

 

·         "Hanya kepada-Mu kami menyembah"
"Dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan"
Ayat pertama merupakan ayat “pertemuan antara Allah dengan hamba-Nya”. Jika pada ayat-ayat sebelumnya Allah SWT. berbicara tentang dirinya sendiri, maka pada ayat inilah terjadi suatu sinergi ubudiyah hamba Allah kepada-Nya. Tetapi menurut Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Jawahirul Qur'an, seluruh kandungan Al-Fatihah ini, masuk kategori ayat-ayat Jawahir.

Ayat-ayat Jawahir adalah ayat-ayat Mutiara, di mana muatannya mengandung nilai-nilai Uluhiyah yang sangat tinggi. Sementara ayat-ayat Durar atau ayat-ayat permata, lebih merupakan ayat yang berkait dengan makhluk Allah SWT.

"Iyyaaka Na‘budu" dalam perspektif sufistik merupakan bentuk ubudiyah hamba Allah dalam situasi "Al-Fana". Situasi di mana hamba Allah lebur dalam nuansa, seakan-akan dirinya hangus dalam Ilahi, tiada daya, tiada upaya, tiada sesuatu yang dihadapi lahir maupun batin, kecuali Allah SWT.

Ayat ini memberikan gambaran akan Kemahatunggalan Allah, sehingga manusia bebas dari kemusyrikan.

Dalam kitab Fathur-Rahman disebutkan, "Sesungguhnya kalian semua berada dalam kemusyrikan tersembunyi, kecuali jika dirimu keluar dari dirimu, Sehingga tiada yang berbuat, tiada yang berdaya, tiada yang berupaya, kecuali Allah SWT. Itu sendiri."

Seorang sufi berkata, "Hakikatmu adalah keluarmu darimu", Wacana ini untuk menggambarkan betapa manusia hanyalah"Bayang-bayang Allah", tidak ada klaim bahwa dirinya ada dalam hakikatnya.

Pandangan ini berbeda dengan aliran eksistensialisme yang menonjolkan kekuatan diri manusia bagi eksplorasi kehidupan maksimal. Semakin kuat dirinya, rasa keberadaannya, semakin kuat egonya dan pengabaiannya terhadap dzat di luar dirinya, yaitu Allah SWT. 

"Iyyaaka Na'budu" berarti hanya kepada-Mu kami menyembah. Menyembah kepada Allah secara total berarti makrifat kepada Allah. Oleh sebab itu, ketika menafsiri ayat yang berbunyi: "Wamaa khalaqtul Jinna wal-Insa illa liya'budun", seorang penafsir sufi mengatakan, "Maksudnya illaa liya'rifuun". Sehingga penafsirannya, "Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka bermakrifat kepada-Ku".

Makrifatullah itulah yang diajarkan Rasulullah SAW, melalui etika ubudiyah dan keyakinannya kepada Allah melalui jalan Islam, Iman dan Ihsan.

Sedangkan "wa-iyyaaka nasta'iin, "berarti sang hamba lebur dalam Musyahadah kepada Allah SWT. Di sinilah Abu Yazid Al-Busthami menyebutkannya sebagai "wahdatusy-syuhud", bukan
"wahdatul wujud". Wahdatusy-syuhud, yang berarti "kesatuan dalam penyaksian". Yang bersatu adalah penyaksiannya, bukan wujudnya. Atau bisa berarti "seakan-akan bersatu".

Inilah maqam Ihsan, sebagai puncak ubudiyah, yang kelak disebut 'abudah. Maqam Ihsan ini bisa disebut sebagai pangkal dari kefanaan hamba Allah, yaitu setelah melampaui fana', fanaul fana' kemudian baqa'.
Dalam Hadits Shahih Rasulullah SAw. bersabda, "Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak melihat-Nya engkau senantiasa dilihat oleh-Nya."

Hamba Allah yang melihat Allah, pasti dirinya fana' dan hanya Allah saja yang baqa' (abadi). Hal yang sama hamba Allah yang senantiasa merasa dilihat Allah, dirinya tidak "berkutik". Gerak geriknya bukan lagi gerak-gerik "milik"nya, tetapi tidak lepas dari peran Allah SWT.
Pada ayat di atas itulah ada relevansi dengan Hadits Qudsi yang disebutkan oleh Allah SWT.,

"...Apabila Aku mencintainya (hamba-Ku), maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengarkannya, dan Aku adalah penglihalannya yang dengannya hamba-Ku melihalnya, dan Aku adalah tangannya yang dengan tangan itu hambaKu memukul, serta Aku adalah kakinya yang dengan kaki itu ia berjalan. Jika ia memohonAku mengabulkannya, dan jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku melindunginya"…


Al-Fatihah Ayat 6-7


Jalan Yang Lurus Itu......
"Tunjukkanlah kami kejalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat"
Maksudnya tetapkanlah kami ke jalan hidayah, dan tempatkanlah kami dalam istiqamah dijalan kesatuan (wahdah).
Jalan istiqamah di dalam kesatuan (wahdah) adalah jalan orang-orang yang dilimpahi nikmat dan karunia Allah melalui kenikmatan tertentu yang sangat khusus, yaitu nikmat rahimiyyah (nikmat Allah di akhirat) atau nikmat kasih sayang, yaitu nikmat ma'rifat dari nikmat mahabbah.
Sedangkan keteguhan hidayah itu adalah hidayah hakiki dan bersifat substantif yang diberikan pada para nabi dan syuhada, shiddiqin dan auliya, yaitu mereka yang menyaksikan-Nya pada Yang Maha Awal dari MahaAkhir, Dhahir dan Bathin, di mana mereka telah sirna dalam penyaksiannya dengan munculnya Wajah Yang Abadi dari segala wujud pandang yang fana’ atau sirna.
Jalan inilah yang ditempuh para sufi. Jalan hakikat. jalan "menyatu" dengan Allah, yang diteguhkan oleh kenyataan dan kebenaran, bahwa yang ada hanyalah Allah, yang abadi hanyalah Wajah Allah, dan segala hal selain Allah adalah batil dan hancur.
Jalan menuju kepada Allah, sebagaimana terlimpahkan kepada para nabi dan rasul, wali dan syuhada yang senantiasa menyaksikan Allah di mana-mana dan tidak di mana-mana. .Penyaksian ubudiyah hamba terhadap Rububiyahnya Allah. Respon yang interaktif dan terus-menerus serta tidak putus dengan-Nya, yang kelak sirna dan tenggelam dalam samudera ma‘rifah dan mahabbah.
Mereka yang telah menyaksikan Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Maha Dhahir dan Maha Bathin adalah cermin dari sikap kepasrahan total hamba-Nya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sulthanul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily:
"Iman adalah engkau bersaksi bahwa keawalan hamba bersama ke-Awalan-Nya, keakhiran hamba bersama ke-Akhiran-Nya, kedhahiranmu bersama ke-Dhahiran-Nya dan bathiniyahmu bersama ke-Bathinan-Nya."
"Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai"
Orang-orang yang dimurkai di sini adalah mereka yang senantiasa terpaku pada dunia empiris, dunia eksoterik, dan bahkan mereka terhijab oleh nikmat duniawi dan nikmat jasmani. Mereka mendapatkan rasa terdalarnnya melalui rasa fisik,jauh dari rasa ruhani yang hakiki, jauh dari kenikmatan kalbu dan kenikmatan akal, sebagaimana dirasakan orang-orang Yahudi, karena dakwah mereka hanya terpaku pada hal-hal empirik (lahiriah) dan kenikmatan syurgawi belaka,janji-janji tentang bidadari dan istana, sehingga mereka mendapatkan kemurkaan Allah. Amarah dan murka itulah yang menyebabkan mereka terlempar jauh, dan akhimya hanya bersiteguh dengan hal-hal yang tampak fenomenal belaka. Padahal itu semua merupakan hijab kegelapan yang menyeramkan, yang begitu curam dan jauh.
"Bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat"
Orang-orang yang tersesat di sini, secara sufistik adalah mereka yang berteguh dalam dunia kebathinan, yang sesungguhnya adalah hijab yang bersifat kecahayaan. Mereka terhijabkan oleh nikmat keakhiratan, dan terjauhkan dari nikmat keduniaan. Lalu mereka alpa akan sifat Dhahirnya Allah, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.
Mereka tertutupi oleh penyaksian Kemahaindahan Sang Kekasih secara keseluruhan, sebagaimana dialami kaum Nashrani. Karena dakwah mereka hanya kepada hal-hal kebathinan saja, mengajak tenggelam ke alam cahaya kegelapan.
Sedangkan dakwah Nabi Muhammad SAW adalah dakwah secara menyeluruh, dhahir dan bathin. Yaitu dakwah yang integratif dan universal antara mahabbah Kamahaindahan Dzat dan Kebajikan Sifat-sifat sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’ an:
"Bersegeralah pada ampunan dari Tuhanmu, dan syurga."
Suatu dakwah yang senantiasa tidak memihak antara satu dengan yang lain, dhahir dan bathin.
Karena itu, misi Rasul selain bersifat perjuangan membebaskan diri dari belenggu empirisme juga bebas dari hijab spiritualisme. Yang berarti bagaimana konsentrasi pada Wajah Ilahi, sehingga menimbulkan interaksi horisontal dan sekaligus vertikal.
Kita senantiasa berdoa agar diri kita tidak terjebak oleh kesesatan lahiriah dengan segala titik pandangnya, termasuk cara memandang terhadap ajaran keagamaan yang hanya terpaku pada konteks lahiriahnya tekstualisme. Tetapi kita juga jangan sampai terjebak oleh kecahayaan ruhani yang mempesona, yang melenakan pada tujuan utama kita, yaitu menuju kepada Allah. Di sinilah integrasi antara syari'at dengan hakikat melalui tarekat sufi.
Syari'at adalah bentuk cara kita menyembah kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara kita menuju kepada Allah. Sementara hakikat adalah bagaimana kita menyaksikan Allah. Amien.

B.           Hakikat Basmallah (Bag 1)

C.                  Dalam suatu hadits Nabi saw. Beliau bersabda, Setiap kandungan dalam seluruh kitab-kitab Allah diturunkan, semuanya ada di dalam Al-Qur'an. Dan seluruh kandungan Al-Qur'an ada di datam Al-Fatihah.
D.                Dan semua yang  ada dalam Al-Fatihah ada di dalam Bismillnahirrahmaanirrahiim. Bahkan disebutkan dalam hadits lain,"setiap kandungan yang ada dalam Bismillahirrahmaanirrahiim ada di dalam huruf Baa', dan setiap yang terkandung di dalam Baa’ ada di dalam titik yang berada dibawah Baa'".

Sebagian para Arifin menegaskan, "Dalam perspektif orang yang ma'rifat kepada Allah, Bismillaahirrahmaanirrahim itu kedudukannya sama dengan "kun" dari Allah”.
E.                  Perlu diketahui bahwa pembahasan mengenai Bismillahirrahmaanirrahiim banyak ditinjau dari berbagai segi, baik dari segi gramatikal (Nahwu dan sharaf) ataupun segi bahasa (etimologis), disamping tinjuan dari materi huruf, bentuk, karakteristik, kedudukan, susunannya serta keistemewaanya atas huruf-huruf lainnya yang ada dalam Surat Pembuka Al-Qur'an, kristalisasi dan spesifikasi huruf-huruf yang ada dalam huruf Baa', manfaat dan rahasianya.

Tujuan kami bukan mengupas semua itu, tetapi lebih pada esensi atau hakikat makna terdalam yang relevan dengan segala hal di sisi Allah swt, Pembahasannya akan saling berkelin dan satu sama lainnya, karena seluruh tujuannya adalah Ma’rifat kepada Allah swt.

Kami memang berada di gerbangNya, dan setiap ada limpahan baru di dalam jiwa maka ar-Ruhul Amin turun di dalam kalbunya kertas. Ketahuilah bahwa Titik yang berada dibawah huruf Baa' adalah awal mula setiap surat dan Kitab Allah Ta’ala. Sebab huruf itu sendiri tersusun dari titik, dan sudah semestinya setiap Surat ada huruf yang menjadi awalnya, sedangkan setiap huruf itu ada titik yang menjadi awalnya huruf. Karena itu menjadi keniscayaan bahwa titik itu sendiri adalah awal dan pada setiap surat dan Kitab Allah Ta’ala.

Kerangka hubungan antara huruf Baa' dengan Tititknya secara komprehensfih akan dijelaskan berikut nanti. Bahwa Baa' dalam setiap surat itu sendiri sebagai keharusan adanya dalam Bassmalah bagi setiap surat, bahkan di dalam surat Al-Baqarah. Huruf Baa' itu sendiri mengawali ayat dalam surat tersebut. Karena itu dalam konteks inilah setiap surat dalam Al-Qur'an mesti diawali dengan Baa' sebagaimana dalam hadits di atas, bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an itu ada dalam surah Al-Fatihah, tersimpul lagi di dalam Basmalah, dan tersimpul lagi dalam Huruf Baa', akhirnya pada titik.

Hal yang sama , Allah SWT dengan seluruh yang ada secara paripurna sama sekali tidak terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Titik sendiri merupakan syarat-syarat dzat Allah Ta'ala yang tersembunyi dibalik khasanahnya ketika dalam penampakkan-Nya terhadap mahlukNya. Amboi, titik itu tidak tampak dan tidak Layak lagi bagi anda untuk dibaca selamanya mengingat kediaman dan kesuciannya dari segala batasan, dari satu makhraj ke makhraj lainya.
 
Sebab ia adalah jiwa dari seluruh huruf yang keluar dari seluruh tempat keluarnya huruf. Maka, camkanlah, dengan adanya batin dari Ghaibnya sifat Ahadiyah.

Misalnya anda membaca titik menurut persekutuan, seperti huruf Taa' dengan dua tik, lalu Anda menambah satu titik lagi menjadi huruf Tsaa’, maka yang Anda baca tidak lain kecuali Titik itu sendiri. Sebab Taa' bertitik dua, dan Tsaa' bertitik tiga tidak terbaca,karena bentuknya satu, yang tidak terbaca kecuali titiknya belaka. Seandainya Anda membaca di dalam diri titik itu niscaya bentuk masing-masing berbeda dengan lainnya. Karena itu dengan titik itulah masing-masing dibedakan, sehingga setiap huruf sebenarnya tidak terbaca kecuali titiknya saja. Hal yang sama dalam perspektif makhluk, bahwa makhluk itu tidak dikenal kecuali Allah.

Bahwa Anda mengenal-Nya dari makhluk sesungguhnya Anda mengenal-Nya dari Allah swt. Hanya saja Titik pada sebagian huruf lebih jelas satu sama lainnya, sehingga sebagian menambah yang lainnya untuk menyempurnakannya, seperti dalam huruf-huruf yang bertitik, kelengkapannya pada titik tersebut. Ada sebagian yang tampak pada kenyataannya seperti huruf Alif dan huruf-huruf tanpa Titik. Karena huruf tersebut juga tersusun dari titik-titik. Oleh sebab itulah, Alif lebih mulia dibanding Baa',karena Titiknya justru menampakkan diri dalam wujudnya, sementara dalam Baa' itu sendiri tidak tampak (Titik berdiri sendiri). Titik di dalam huruf Baa' tidak akan tampak, kecuali dalam rangka kelengkapannya menurut perspektif penyatuan. Karena Titik suatu huruf Merupakan kesempurnaan huruf itu sendiri dan dengan sendirinya menyatu dengan huruf tersebut. Sementara penyatuan itu sendiri mengindikasikan adanya faktor lain, yaitu faktor yang memisahkan antara huruf dengan titiknya.

Huruf Alif itu sendiri posisinya menempati posisi tunggal dengan sendirinya dalam setiap huruf. Misalnya Anda bisa mengatakan bahwa Baa' itu adalah Alif yang di datarkan Sedang Jiim, misalnya, adalah Alif dibengkokkan' dua ujungnya. Daal adalah Alif yang yang ditekuk tengahnya.

Sedangkan Alif dalam kedudukan titik, sebagai penyusun struktur setiap huruf ibarat Masing-masing huruf tersusun dari Titik. Sementara Titik bagi setiap huruf ibarat Neucleus yang terhamparan. Huruf itu sendiri seperti tubuh yang terstruktur. Kedudukan Alif dengan kerangkanya seperti kedudukan Titik. Lalu huruf-huruf itu tersusun dari Alif sebagimana kita sebutkan, bahwa Baa’ adalah Alif yang terdatarkan.

Demikian pula Hakikat Muhammadiyyah merupakan inti dimana seluruh jagad raya ini diciptakan dari Hakikat Muhammadiyah itu. Sebagaimana hadits riwayat Jabir, yang intinya Allah swt. menciptakan Ruh Nabi saw dari Dzat-Nya, dan menciptakan seluruh alam dari Ruh Muhammad saw. Sedangkan Muhammad saw. adalah Sifat Dzahirnya Allah dalam makhluk melalui Nama-Nya dengan wahana penampakan Ilahiyah.

Anda masih ingat ketika Nabi saw. diisra'kan dengan jasadnya ke Arasy yang merupakan Singgasana Ar-Rahman. Sedangkan huruf Alif, walaupun huruf-huruf lain yang tanpa titik sepadan dengannya, dan Alif merupakan manifestasi Titik yang tampak di dalamnya dengan substansinya Alif memiliki nilai tambah dibanding yang lain. Sebab yang tertera setelah Titik tidak lain kecuali berada satu derajat. Karena dua Titik manakala disusun dua bentuk alif, maka Alif menjadi sesuatu yang memanjang. Karena dimensi itu terdiri dari tiga: Panjang, Lebar dan Kedalaman.

Sedangkan huruf-huruf lainnya menyatu di dalam Alif,seperti huruf Jiim. Pada kepala huruf Jiim ada yang memanjang, lalu pada pangkal juga memanjang, tengahnya juga memanjang. Pada huruf Kaaf misalnya, ujungnya memanjang, tengahnya juga memanjang namun pada pangkalnya yang pertama lebar. Masing-masing ada tiga dimensi. Setiap huruf selain Alif memiliki dua atau tiga jangkauan yang membentang. Sementara Alif sendiri lebih mendekati titik. Sedangkan titik , tidak punya bentangan. Hubungan Alif diantara huruf-huruf yang Tidak bertitik, ibarat hubungan antara Nabi Muhammad saw, dengan para Nabi dan para pewarisnya yang paripurna. Karenanya Alif mendahului semua huruf.

Diantara huruf-huruf itu ada yang punya Titik di atasnya, ada pula yang punya Titik dibawahnya,Yang pertama (titik di atas) menempatip osisi "Aku tidak melihat sesuatu sebelumnya) kecuali melihat Allah di sana".

Diantara huruf itu ada yang mempunyai Titik di tengah, seperti Titik putih dalam lobang Huruf Mim dan Wawu serta sejenisnya, maka posisinya pada tahap, "Aku tidak melihat sesuatu kecuali Allah didalamnya." Karenanya titik itu berlobang, sebab dalam lobang itu tampak sesuatu selain titik itu sendiri Lingkaran kepada kepala Miim menempati tahap, "Aku tidak melihat sesuatu" sementara Titik putih menemptai "Kecuali aku melihat Allah di dalamnya."
 

Alif menempati posisi "Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat kepadamu sesungguhnya mereka itu berbaiat kepada Alllah." Kalimat "sesungguhnya" menempati posisi arti "Tidak", dengan uraian "Sesungguhnya orang-orang berbaiat" kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu, kecuali berbaiat kepada Allah."
 

Dimaklumi bahwa Nabi Muhammad saw. dibaiat, lalu dia bersyahadat kepada bersyahadat kepada Allah pada dirinya sendiri, sesungguhnya tidaklah dia itu berbaiat kecuali berbaiat kepada Allah. Artinya, kamu sebenarnya tidak berbaiat kepada Muhammad saw. tetapi hakikat-nya berbaiat kepada Allah swt. Itulah arti sebenarnya dari Khilafah tersebut.

C. Hakikat Basmallah (Bag 2)

Menurut Ibnu Araby dalam Kitab Tafsir Tasawufnya, "Tafsirul Qur'anil Karim" menegaskan, bahwa dengan (menyebut) Asma Allah, berarti Asma-asma Allah Ta’ala diproyeksikan yang menunjukkan keistimewaan-nya, yang berada di atas Sifat-sifat dan Dzat Allah Ta'ala. Sedangkan wujud Asma itu sendiri
menunjukkan arah-Nya, sementara kenyataan Asma itu menunjukkan Ketunggalan-Nya.

Allah itu sendiri merupakan Nama bagi Dzat (Ismu Dzat) Ketuhanan. dari segi Kemutlakan Nama itu sendiri. Bukan dari konotasi atau pengertian penyifatan bagi Sifat-sifat-Nya, begitu pula bukan bagi pengertian "Tidak membuat penyifatan".

"Ar- Rahman" adalah predikat yang melimpah terhadap wujud dan keparipurnaan secara universal. menurut relevansi hikmah.
 dan relevan dengan penerimaan di permulaan pertama.

"Ar-Rahiim" adalah yang melimpah bagi keparipurnaan maknawi yang ditentukan bagi manusia jika dilihat dari segi pangkal akhirnya. Karena itu sering. disebutkan, "Wahai Yang Muha Rahman bagi Dunia dan akhirat, dan Maha Rahim bagi akhirat".

Artinya, adalah proyeksi kemanusiaan yang sempuma, dan rahmat menyeluruh, baik secara umum maupun khusus, yang merupakan manifestasi dari Dzat Ilahi. Dalam konteks, inilah Nabi Muhammad saw. Bersabda, "Aku diberi anugerah globalitas Kalam, dan aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (menuju) paripurna akhlak".

Karena. kalimat-kalimat merupakan hakikat-hakilkat wujud dan kenyataannya. Sebagaimana Isa as, disebut sebagai Kalimah dari Allah, sedangkan keparipurnaan akhlak adalah predikat dan keistimewaannya. Predikat itulah yang menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang terkristal dalam jagad kemanusiaan. Memahaminya sangat halus. Di sanalah para Nabi - alaihimus salam - meletakkan huruf-huruf hijaiyah dengan menggunakan tirai struktur wujud. Kenyataan ini bisa djtemukan dalam periode! Isa as, periode Amirul Mukminin Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah, dan sebagian masa sahabat, yang secara keseluruhan menunjukkan kenyataan tersebut.

Disebutkan, bahwa Wujud ini muncul dari huruf Baa’ dari Basmalah. Karena Baa’ tersebut mengiringi huruf Alif yang tersembunyi, yang sesungguhnya adalah Dzat Allah. Disini ada indikasi terhadap akal pertama, yang merupakan makhluk awal dari Ciptaan Allah, yang disebutkan melalui firman-Nya, "Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih Kucintai dan lebih Kumuliakan ketimbang dirimu, dan denganmu Aku memberi. denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi pahala dan denganmu Aku menyiksa". (Al-hadits).

Huruf-huruf yang terucapkan dalam Basmalah ada 18 huruf. Sedangkan yang tertera dalam tulisan berjumlah 19 huruf. Apabila kalimat-kalimat menjadi terpisah. maka jumlah huruf yang terpisah menjadi 22.

Delapan belas huruf mengisyaratkan adanya alam-alam yang dikonotasikannya dengan jumlahnya. 18 ribu alam. Karena huruf Alif merupakan hitungan sempurna yang memuat seluruh struktur jumlah. Alif merupakan induk dari seluruh strata yang tidak lagi ada hitungan setelah Alif. Karena itu dimengerti sebagai induk dari segala induk alam yang disebut sebagai Alam Jabarut, Alam Malakut, Arasy, Kursi, Tujuh Langit., dan empat anasir, serta tiga kelahiran yang masing masing terpisah dalam bagian-bagian tersendiri.

Sedangkan makna sembilan belas, menunjukkan penyertaan Alam Kemanusiaan. Walau pun masuk kategori alam hewani, namun alam insani itu menurut konotasi kemuliaan dan universalitasnya atas seluruh alam dalam bingkai wujud, toh ada alam lain yang memiliki ragam jenis yang prinsip. Ia mempunyai bukti seperti posisi Jibril diantara para Malaikat.
Tiga Alif yang tersembunyi yang merupakan pelengkap terhadap dua puluh dua huruf ketika dipisah-pisah, merupakan perunjuk pada Alam Ilahi Yang Haq, menurut pengertian Dzat. Sifat dan Af 'aal. Yaitu tiga Alam ketika dipisah-pisah, dan Satu Alam ketika dinilai dari hakikatnya.

Sementara tiga huruf yang tertulis menunjukkan adanya manifestasi alam-alam tersebut pada tempat penampilannya yang bersifat agung dan manusiawi.

Dan dalam rangka menutupi Alam Ilahi, ketika Rasulullah saw, ditanya soal Alif yang melekat pada Baa', "dari mana hilangnya Alif itu?" Maka Rasulullah saw, menjawab, "Dicuri oleh Syetan".

Diharuskannya memanjangkan huruf Baa'nya Bismillah pada penulisan, sebagai ganti dari Alifnya, menunjukkan penyembunyian Ketuhanannya predikat Ketuhanan dalam gambaran Rahmat yang tersebar. Sedangkan penampakannya dalam potret manusia, tak akan bisa dikenal kecuali oleh ahlinya. Karenanya, dalam hadist disebutkan, "Manusia diciptakan menurut gambaran Nya".

Dzat sendiri tersembunyikan oleh Sifat, dan Sifat tersembunyikan oleh Af'aal. Af'aal tersembunyikan oleh jagad-jagad dan makhluk.

Oleh sebab itu, siapa pun yang meraih Tajallinya Af'aal Allah dengan sirnanya tirai jagad raya, maka ia akan tawakkal. Sedangkan siapa yang meraih Tajallinya Sifat dengan sirnanya tirai Af'aal, ia akan Ridha dan Pasrah. Dan siapa yang meraih Tajallinya Dzat dengan terbukanya tirai Sifat, ia akan fana dalam kesatuan. Maka ia pun akan meraih Penyatuan Mutlak. Ia berbuat, tapi tidak berbuat. Ia membaca tapi tidak membaca "Bismillahirrahmaanirrahiim".

Tauhidnya af'aal mendahului tauhidnya Sifat, dan ia berada di atas Tauhidnya Dzat. Dalam trilogi inilah Nabi saw, bermunajat dalam sujudnya, "Tuhan, Aku berlindung dengan ampunanmu dari siksaMu, Aku berlindung dengan RidhaMu dari amarah dendamMu, Aku berlindung denganMu dari diriMu".

Al-Baqarah Ayat 23-24

Neraka Nafsu
"Jika kamu sekalian dalam keraguan terhadap apa yang Kami turunkan terhadap hamba Kami, maka datangkanlah satu surat (saja) yang sepadan dengannya, dan undanglah para saksi-saksi kamu selain Allah, jika kamu termasuk
orang-orang yang benar."
"Maka apabila kamu belum berbuat dan tidak melakukan, maka takutlah pada neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang disediakan untuk orang-orang kafir."
Ayat ini masih terkait dengan ayat-ayat sebelumnya. Allah masih membicarakan masalah iman dan kekafiran, ibadah dan akibat dari penolakan terhadap keimanan itu sendiri. Di samping itu, faktor-faktor hijab yang menutupi mata hati mereka sehingga mereka berani menentang atau ragu-ragu terhadap ayat Allah masih kental dalam ayat di atas.
Akal manusia memiliki kreasi berfikir secara sistematis, sehingga berkembang bersama nafsu untuk membuat sistem tandingan, termasuk keinginan menandingi ayat-ayat al-Qur'an. Di sana mulai muncul keraguan-keraguan atau skeptisisme, yang mempertanyakan keyakinan atas Eksistensi Allah SWT. Padahal Allah Ta'ala juga Maha Tahu jika manusia tidak akan mampu menandingi-Nya dalam manifestasi Sifat maupun Af'aal-Nya.
Keraguan itu merembet pada Hak Kenabian Muhammad SAW, hanya karena Muhammad SAW, manusia biasa, seperti mereka pula. Tetapi mereka lupa, bahwa posisi pilihan Allah Ta'ala kepada Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul mengandung rahasia besar yang tak bisa mereka ungkapkan. Di sinilah mereka terhijab oleh pemikiran dan logikanya sendiri. Logika yang biasanya didasarkan melalui sistematik-matematik, sebab akibat sejarah, fenomena-fenomena eksperimental,dan bukti-bukti rasional.
Secara tegas Allah memberikan ancaman, manakala kamu sekalian tidak mampu berbuat sebagaimana tantangan Allah, maka kalian harus beriman dan ber-Islam, menghindari sikap keras kepala yang menjerumuskan kalian pada neraka. Dan neraka itu memang bahan bakarnya manusia dan batu. Api neraka bisa menyala-nyala jika diberi bahan bakar manusia dan batu. Maksudnya, nafsu manusialah yang menyalakan api itu hingga berkobar, nafsu yang terus menerus mengeras, berubah seperti batu, dan semakin panas. Panasnya nafsu dan kerasnya hati yang membatu, telah menjadi tirai yang menghalangi keyakinan manusia yang kafir kepada Allah Ta'ala. Akhirnya secara spiritual ia tersiksa oleh kobaran nafsunya sendiri.
Kecintaan manusia pada materi duniawi, telah menghalangi kecintaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Seseorang akan dikumpulkan beserta yang dicintainya, bahkan seandainya ia mencintai batu sekali pun, ia akan bersama batu itu."
Lalu apa yang diandalkan manusia dalam proses ruhaninya ketika kecintaannya tertumpu selain Allah dan Rasul-Nya? Apa yang bisa digambarkan seseorang bisa bertemu Allah jika dalam hatinya penuh dengan gambaran-gambaran duniawi ini?.
Karena itu Allah mengakhiri ayat tersebut, dengan kalimat "U'iddat lil-Kaafirin". Bahwa neraka itu disediakan untuk orang-orang kafir, semata karena orang kafir itu telah terputus dan terhijab dari cita-cita luhur mereka, dengan mengabaikan Allah sebagai Tuhan mereka.

Al-Baqarah Ayat 25-26

 

Balasan Orang-orang Beriman
"Dan berilah kegembiraan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang beramal saleh, bahwa mereka mendapatkan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” 

"Sesungguhnya Allah tiada malu membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?" Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu banyak orang yang diberi-Nya petunjuk Allah. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.”

Ayat di atas menggambarkan bagaimana sebuah kesadaran ruhani hanya bisa diraih oleh orang yang beriman dan beramal saleh. Sementara Allah juga menampakkan adanya sebuah maqam, di mana ilmu-ilmu Ilahiah mengalir, yang digambarkan sebagai bengawan-bengawan surgawi. Bahwa sungai atau bengawan itu, dalam perspektif kehidupan dunia, memang merupakan pandangan yang teramat indah, di samping sungai-sungai memang memberikan aliran kehidupan yang bisa dijadikan perangkat bagi tumbuhnya tanaman-tanaman dan kemakmuran.

Ketika mereka diberi limpahan rizki berupa buah maqamat (tahapan ruhani), seperti limpahan syukur, taubat, ridla, ketaqwaan, dzikir, qana'ah, zuhud, mahabbah dan ma’rifah, tiba-tiba mereka teringat betapa buah maqamat itu sesungguhnya pernah ia lihat sebelumnya ketika dalam kehidupan dunia. Namun kehidupan dunia telah berbaur dengan nafsu yang menghijabinya, menutup dengan tirainya, sampai akhirnya nuansa hati yang sebenarnya sirna.

Hikmah-hikmah Ilahiah, yang hilang sepertinya ditemukan kembali dalam aliran sungai ma'rifah itu. "Al-Hikmatu Dlaallatul Mu'min." (Hikmah adalah hilangnya barang berharganya orang yang beriman). Jadi hikmah yang hakiki itu baru didapatkan kembali ketika ia mulai mendapatkan kiriman buah-buah maqamat jiwa di dalam surga.

Sementara itu istri-istri yang digambarkan sebagai bidadari yang suci. Maksudnya adalah jiwa-jiwa keindahan yang suci yang tercermin dalam sosok-sosok bidadari. Jiwa yang tidak terasuki nafsu dan syetan serta watak-watak duniawiah dan kotornya anasir-ansir duniawi lainnya.

Sedangkan ayat selanjutnya, mengenai pernyataan Allah Ta’ala bahwa Diri-Nya tidak segan membuat perumpamaan dengan sebuah misal tentang nyamuk, pada hakikatnya adalah kritik yang halus betapa sesungguhnya orang-orang kafir itu lebih hina dibanding nyamuk sekali pun. Sebab sayap-sayap kafir yang diperumpamakan nyamuk itu, adalah bersayap duniawiah. Tetapi perumpamaan itu dianggap bukan sebagai kebenaran oleh orang-orang yang sesat, yang digambarkan sebagai kalangan fasik. Yakni kefasikan mereka akibat mereka sendiri telah keluar dari alam kalbu menuju alam nafsu.

Kalangan fasik ini nilainya memang sedikit rendah dibanding kalangan kafir. Namun bahwa pembangkangan mereka itulah yang menyebabkan mereka terjerumus dalam kekafirannya. Kefasikannya telah membuatnya sesat, dan sesatnya berada dalam kegelapan yang mencekam, hanya karena mereka ingkar atas datangnya al-Qur'an. Maka semakin tambah jauh, semakin gelap, semakin gulita.

Allah memang sering membuat perumpamaan-perumpamaan untuk lebih mudah difahami. Karena itu orang yang memang memiliki keimanan yang dalam akan senantiasa menyatakan betapa perumpamaan itu memang datang dari Allah SWT. Hanya sebuah kefasikan saja yang menghalangi seseorang untuk melihat suatu anugerah pengetahuan dan hikmah Ketuhanan.

 

D. Al-Baqarah Ayat 27-29


Prilaku Penghianat
“Yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memotong apa yang telah diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan dimuka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” Ayat ini masih menjelaskan tentang predikat orangn-orang kafir, orang fasik dan orang-orang munafik. Mereka memiliki karakter yang sangat jelas, yaitu sikap untuk terus menerus melanggar komitmen yang sudah disepakati bersama, bahkan memiliki kecendrungan untuk memutuskan jalan bagi berlakunya perintah-perintah Allah, dengan suatu kepentingan, agar struktur dunia ini hancur, buni ini gonjang ganjing, dan bahkan pada akhirnya sejarah mencatat mereka sebagai golongan orang-orang yang ememtik kerugian besar.

Dalam perjalanan batin kita menuju kepada Allah, senantiasa muncul nafsu-nafsu untuk melanggar aturan-aturan dunia samawat (langit), yang sesungguhnya telah jadi kesepakatan dan kita teguhkan dizaman “azali” dulu, bahwa kita senantiasa akan berselaras dengan Perjanjian Ilahiah (‘Ahdullah) ketika itu. Tetapi orang yang tertutup hatinya oleh kegelapan duniawi, yang ditegakkan oleh ambisi dan nafsu, maka Perjanjian Ilahiah tertutup dari jati diri kita, rahasi batin kita, sehingga justru nafsu itu ingin mengabaikan aturan-aturan Ilahiah yang murni dan hakiki.

Allah memberikan gambaran, bahwa kecendrungan itu akan mengakibatkan kerusakan dubia dan bumi ini, karena manusia melanggar kekhalifahan dirinya, yaitu jabatan yang telah diberikan Allah dalam “konstitusi ruhani” dialam ‘azali dulu.

Kekhalifahan yang tercerabut, akhirnya memunculkan “kekhalifahan semu” yang emnjadi alat penghancur bumi, alat kefasikan dan kemunafikkan, alat dunia lahiriah dengan segala daya tariknya. Ayat ini sekaligus menjadi penghantar bagi “jabatan” kekhalifahan manusia itu sendiri, yang sesungguhnya setiap manusia adalah khalifah. Kekhalifahan hanya bias mawjud manakala seseorang benar-benar menjadi hamba Allah, hamba dalam kefanaan dirinya, fana’ul fana’ dan baqa’ bersama Allah. Itulah bagian dari kekhalifahan sufistik, dimana pelanggaran-pelanggaran atas wilayah ruh yang bersumber dari wilayah amr seringkali dipotong oleh kefasikkan-kefasikan jiwa kita.

Ayat selanjutnya menegaskan :

“Bagaimana kamu bisa kafir kepada Allah, sedangkan kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kami, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkannya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan ?”

“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu dan dia berkehendak menuju langit, lalu dijadika-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Sebelum ada kehidupan didunia ini, semula kita ini mati. Lalu dihidupkan kembali oleh Allah SWT. Allah mematikan lagi, lalu menghidupkan lagi akhirat nanti. Kemudian semuanya kita kembali kepada Allah.

Kealpaan manusia untuk kembali kepada Allah semakin ditebalkan oleh hijab dengan ciptaan-ciptaan. Padahal, sesungguhnya ada tujuh lapisan cahaya, tujuh lapisan jiwa dan lapisan-lapisan dalam alam samawat lainnya, yang sangat erat hubungannya dengan makna spiritual.

E.            Al-Baqarah Ayat 30

Khilafah Sufistik
“Dan ingatlah Tuhamu berfirman kepada para malaikat,” Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi.” Mereka berkata,” Apakah Engkau hendak menjadikan (khilafah) dimuka bumi itu orang yang melakukan perusakan didalamnya dan mengalirkan darah. Dan kami bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan hanya pada-Mu.” Maka Allah berfirman,”Sesungguhnya Aku Maha Tahu apa yang tidak kalian ketahui.”

Ayat ini mengisyaratkan rahasia Tuhan :
Pertama, tentang positioning malaikat dalam tata jagat semesta kemahlukkan yang pengetahuannya terbatas pada obyek-obyek dibawahnya sehingga ia tidak mengetahui rahasia-rahasia alam yang ada diatasnya.
Dua, positioning manusia yang diangkat sebagai khalifah dimuka bumi menunjukkan bahwa adanya yang tersembunyi dalam diri manusia itu sendiri yang tidak diketahui oleh para malaikat. Rahasia-rahasia itu antara lain, manusia diberi baju Adma’, Sifat, Af’al dan Dzat Allah yang ada dalam rahasia Ruh Allah.
Ketiga, malaikat memandang manusia sebagai perusak bumi dan pembunuh sesama, hal ini disebabkan oleh perspektif malaikat itu sendiri bahwa manusisa adalah wujud dari alam ruhani dan alam jasmani dimana ketika terjadi pertemuan kedua alam itu muncul hawa nafsu. Nafsu kebinatangan disatu sisi dan nafsu keganasan disisi lain yang menjadi cirri khas nafsu itu sendiri.
Keempat, ketidaktahuan malaikat terhadap rahasia Allah dibalik penjadian kekhalifahan disebabkan adanya hijab yang menghalangi musyahadahnya dengan Allah SWT. Karena pada hakikatnya memang hanya manusia saja yang bisa berhadapan dengan Allah.
Kelima, rahasia Allah justru terletak pada perpaduan dunia ruh dan dunia fisik yang ada pada manusia. Sesungguhnya ayat tersebut juga obyek dunia sufi mengenai konsep kekhalifahan sufistik. Para sufi memandang, bahwa khalifah adalah tajalli(manifestasi)-Nya Allah yang direspon oleh para hamba dalam ke-fana’an terhadap jabarut dan malakut serta lahut-nya Allah Ta’ala. Karena itu ayat tersebut juga mengandung rahasia keabadian yang merupakan pertemuan antara yang ‘azali dan yang abadi.

Berarti ada lima elemen utama yang minimal harus diketahui oleh manusia untuk mencapai derajat khalifah yang hakiki.

1.       Manusia dapat mencapai derajat khalifah manakala manusia mampu mengalami ke-fana’-an total dalam ke-baqa’-an-Nya.
2.      Manusia yang mengenal dirinya dalam ke-fana’an itu maka a akan mengenal Allah dalam ke-baqa’-an-Nya.
3.      Sebuah kata-kata dari Allah seperti ayat diatas adalah wujud kepastian yang nyata.
4.      Derajat kekhalifahan hanya bisa dicapai manakala manusia bisa mengalahkan nafsu hewani dan nafsu kebuasan yang destruktif.
5.       Sirrulah (rahasia Allah), justru dihijabi yang pada hakikatnya tidak ada, apa yang kita lihat ada sekitar kita bukanlah ada yang sesungguhnya, sebab hakikat ada ialah Allah itu sendiri. Oleh karena itu tazkiyatun nafs yang diberikan oleh para sufi melalui pendidikan dan latihan ruhani merupakan gerbang awal dari Tasbih, Tahmid dan Taqdis yang selama ini menjadi wahana para malaikat sekaligus menjadi batin dari alam malakut. Dan kelak, seorang hamba baru akan “diwisuda” oleh Allah melalui toga kekhalifahan.

Protes malaikat diatas juga disebabkan oleh ketidaktahuannya akan perpaduan dua alam yang tersembunyi didalamnya, penampilan makna-makna Uluhiyah dan sifat-sifat Rabbaniyah. Yang dilihat malaikat hanyalah nafsu syahwat dan marah, yang melahirkan dsetruksi peperangan dan perusakan bumi, karena hubungan antara ruh dan badan. Wallahu A’lam.

F.            Al-Baqarah Ayat 31-33


Makhluk Unggulan Spiritual
“Dan Allah mengajari Adam semua nama-nama, kemudian Allah mengemukakannya kepada malaikat, lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar.!”

Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Allah berfirman, “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, sesungguhnya Aku Mengetahui rahasia langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kamu tampakkan dan kamu sembunyikan.”

Ayat di atas merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya mengenai “protes Malaikat” kepada Allah Ta’ala, soal khilafah bumi.

Allah mengajarkan nama-nama benda semesta itu melalui hati Adam as, sehingga ia mengenal hakikat benda-benda itu, manfaat dan bahayanya, lalu Adam as, mempresentasikan nama-namanya secara keseluruhan.
Pengakuan malaikat atas kelebihan-kelebihan Adam atas diri mereka merupakan bagian dari rahasia-rahasia Allah Ta’ala. Di samping manusia merupakan ahsanu taqwim, manusia merupakan prototipe “Cermin Ilahi” yang memancarkan Nur Muhammad, di mana, malaikat adalah bagian dari Nur Muhammad itu.

Allah mengetahui rahasia langit dan bumi, yang tidak diketahui oleh para malaikat, sesungguhnya adalah rahasia mahabbah dan ma’rifah yang dilimpahkan pada manusia. Para malaikat pun dilimpahi Kasih sayang-Nya dengan menyebutkan, “Aku Maha Tahu apa yang engkau tampakkan.” Maksudnya yang tampak pada para malaikat tentang manusia adalah mafsadah-mafsadah (kerusakan) yang muncul dari perpaduan antara jasad dan ruh yang suci, yang menimbulkan nafsu. Sementara Allah juga menyebutkan, “Apa yang kamu sembunyikan,” yaitu berupa penyucian-penyucian dan tasbih para malaikat kepada Allah Ta’ala.

Informasi mengenai pengetahuan semesta, secara universal telah dilimpahkan oleh Allah ta’ala kepada Adam as. Pada ayat tersebut jelas, bagaimana, pengetahuan malaikat terhadap informasi alam semesta dan hakikat-hakikatnya, harus melewati pengetahuan Adam as. Dan kelak keunggulan Adam itulah yang menjadikan dirinya ditakdirkan sebagai
 Khalifatullah fil Ardl..

Manusia memiliki kekuatan potensial untuk membangun peradaban bumi. Sementara malaikat akan terus menerus menyucikan Allah dan mentasbihkan Allah SWT.

Tetapi mahabbatullah dan ma’rifatullah itulah puncak prestasi manusia yang secara ‘ubudiyah merupakan bentuk lain dari Makhluk Unggulan Allah Ta’ala. Dari sana pula manusia mesti belajar merefleksikan dirinya, apakah kelak ia akan menjadi asfala safilin, atau makhluk paling rendah dan hina, karena jauh dari mahabbah dan ma’rifah, bahkan menjadi kafir atau sebaliknya ia akan menjadi ahsanu taqwim, manakala ia beriman dan beramal saleh. Beriman berarti meyakini, mencitai dan ma’ritaullah sebagai puncaknya, lalu teraksentuasikan dalam kerja kreatif peradaban yang saleh. Suatu kreasi manusia yang didasarkan pada keimanan yang dalam, dan berujud kesalehan sehari-hari.


G.           Al-Baqarah Ayat 34-35


Iblis Terjebak dalam Formalisme
“Dan ketika Kami katakan kepada para Malaikat, “Sujudlah kepada Adam!” Maka mereka pun bersujud, kecuali Iblis. Ia membangkang dan merasa besar diri, dan ia tergolong orang-orang yang kafir.” (Q.S. al-Baqarah: 34) Ibnu Arabi mengatakan, bahwa perintah sujud kepada Adam, bukan bentuk penyembahan malaikat kepada Adam, tetapi sebagai bentuk penghormatan, karena kedudukan Adam lebih tinggi dibanding semua makhluk itu. Para malaikat taat dan tunduk kepada Adam.
Sementara iblis, yang memiliki potensi keraguan dan kesangsian, mengabaikan perintah Allah itu. Iblis mengabaikan perintah itu karena dia terhijab dari pemahaman hakikat Adam. Hijab itu adalah bentuk wujudnya Adam saja yang dilihat oleh iblis, wujud formal dan tekstualnya, sehingga iblis kehilangan hakikat Adam. Padahal kalau iblis tahu akan makna-makna hikmah samawiyah pada Adam, pasti ia akan tetap dalam mahabbah menuju ridla Allah Ta’ala.

Iblis itu sendiri termasuk kalangan jin, yaitu kelompok makhluk dari alam malakut paling bawah yang sudah berbaur dengan potensi-potensi kebumian. Ia tumbuh dan terdidik antara fenomena malaikat-malaikat langit untuk memahami makna-makna yang bersifat parsial, lalu ia dinaikkan sampai pada ufuk rasional. Tidak aneh jika ada sejumlah binatang, yang memiliki “kecerdasan” mendekati manusia.

Iblis menolak terhadap perintah Allah, justru karena iblis mengabaikan akal budi dan himmah yang ada pada dirinya, sehingga memunculkan sifat takabur terhadap format Adam yang terbuat dari tanah itu. Iblis terhijab dari memandang hakikat-hakikat Adam dari balik gumpalan tanah itu. Sehingga ia tergolong orang yang kafir sejak ‘azali yang terhijab dari cahaya-cahaya akal budi dan cahaya “perpaduan” ciptaan, apalagi dari cahaya-cahaya kesatuan.

Maka dari itu, Allah Ta’ala selanjutnya berfirman:

“Dan Kami katakan, “Wahai Adam, hunilah surga, dirimu dan istrimu, dan makanlah kalian berdua, makanan semau kalian. Dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini, yang menyebabkan kalian berdua termasuk orang-orang yang zhalim.” (al-Baqarah 35).

Siapakah hakikat istri Adam itu? Ia adalah nafsu yang namanya Hawa, karena berinteraksi dengan jasad yang bersifat gelap. Hidup itu sendiri jika dimetaforkan pada warna, adalah warna hitam. Sebagaimana hati disebut Adam, karena kata Adam itu berkaitan dengan fisik, tetapi tidak bersifat lazim pada karakter. Karena kata “Adamah” berarti kelabu, yaitu warna yang diarahkan menuju warna hitam.

Sedangkan surga tempat ia diperintah untuk menghuninya itu, adalah langit alam arwah yang menjadi Raudlatul Quds (Taman Suci). Di sanalah keduanya diperintahkan untuk mengkonsumi apa saja, dari segala makna, hikmah, ma’rifah yang sesungguhnya merupakan konsumsi kalbu itu sendiri, sekaligus menjadi hidangan ruhani, dari segala maqam, martabat, derajat dan tingkat-tingkat spiritual, selamanya tanpa ada batas.
Pohon larangan yang secara hakiki tidak boleh didekati oleh Adam dan Hawa, merupakan pohon zhulmah (kegelapan), karena seluruh elemen duniawi ada di dalam pohon tersebut.

 

H.         Al-Baqarah Ayat 36-39


Bersalahkah Nabi Adam AS ?
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syetan dari syurga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfiman,“Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai  waktu yang ditentukan.”Kemudian Adam menerima beberapa Kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.

Kami berfirman, “Turunlah kamu semua dari syurga itu. Maka jika datang petunjukKu kepadamu, lalu siapa yang menerima petunjukKu, maka mereka tidak ada ketakutan dan tidak ada kesusahan.”

“Sedangkan orang-orang yang kafir dan mendustakan petunjuk Kami mereka itu penghuni neraka, kekal di dalamnya.”

Ayat-ayat ini masih berkait dengan edisi lalu, mengenai pertarungan antara syetan dengan Adam as. Kegagalan Adam as, sesungguhnya bagian dari rahasia-rahasia Allah swt., kalau tidak sama sekali disebut sebagai bagian dari “sandiwara Ilahiyah”, untuk menunjukkan kekuasaan Allah swt terhadap para hamba-hambaNya, sekaligus menjelaskan cinta dan kasih sayangnya secara nyata.

Dari segi syariat, Adam as telah melakukan kesalahan atau dosa karena melanggar perintah Allah swt, melalui rekayasa syetan yang terus menggodanya. Tetapi dari segi hakikat, sesungguhnya peristiwa turunnya Adam ke muka bumi merupakan bentuk dari ketidakberdayaan hamba di hadapan Allah swt. Persdpektif hakikat ini, harus dipandang secara hakiki pula, dimana hal-hal yang bersifat akal rasional harus ditepiskan. Tetapi harus dipahami menurut kecerdasan ruhani kita, dengan memandfang peristiwa tersebut dari dimensi Ilahiyah.

Sebab dalam peristiwa itu terkandung beberapa hikmah yang agung:

1.       Tanpa turunnya Adam as, ke muka bumi, kita semua tidak mungkin ada, dan Nabi Muhammad saw, yang menjadi pusat gravitasi cahaya yang melahirkan makhluk-makhluk di jagad semesta juga tidak mungkin ada.
2.      Manusia dan hamba adalah tempat salah dan dosa. Klaim seorang hamba mendapatkan atau bisa melakukan sebuah kebenaran adalah mustahil. Karena itu, kebenaran pasti dari Allah Ta’ala, dan kesalahan pasti dari manusia. Seseorang mendapatkan kebenaran semata karena hidayah Allah pada hamba tersebut, selebihnya, jika manusia berjalan dengan sendirinya, ia justru akan meraih kegelapan demi kegelapan.
3.      Sebesar apa pun dosa seorang hamba, jika sang hamba kembali bertobat kepada Allah swt, niscaya akan diterima taubatnya, dan ia akan lahir kembali dengan bimbingan Allah Ta’ala. Dosa Adam as, adalah dosa terbesar jika dibandingkan dengan seluruh dosa-dosa hamba Allah, maka dosa Adam adalah dosa terbesar. Allah masih mengampuni kecuali jika sang hamba musyrik, lalu tidak kembali pada jalan Allah Ta’ala.
4.      Di bumi, manusia senantiasa berjalan di dunia dzulumat atau kegelapan. Kegelapan itulah sumber ketakutan dan kegelisahan yang sesungguhnya. Maka siapa pun yang mengalami kegelisahan dan ketakutan, sesungguhnya ada segumpal kegelapan pada dirinya. Yang menghapus kegelapan adalah Cahaya Allah yang menyinari bumi, hingga melahirkan petunjuk yang benar.
5.       Sebaliknya, mereka yang enggan dan kafir terhadap petunjuk Allah ia akan terlepar dalam kegelapannya sendiri, yaitu neraka kekal yang ada di depannya.


Pertarungan selanjutnya adalah pertarungan antara gelap dan terang. Di tengah-tengah pertarungan itu muncullah nafsu yang senantiasa ditunggangi syetan, agar manusia terus terseret oleh kegelapan itu sendiri.

Nafsu adalah produk dfari pertemuan antara ruh dan jasad dunia, yang secara alamiyah memiliki kecvenderungan merusak lingkungan dan menumpahkan darah. Dari potensi-potensi nafsu itulah muncul apa yang disebut dengan dimensi-dimensi akhlak madzmumat atau mdzlumat yang sangat negatif. Tetapi manusia juga memiliki dimensi Ilahiyah yang kelak melahirkan al-akhlaqul mahmudah., yang mendorong manusia itu terus menerus berbuat positip.

Dalam perspektif Sufi, manusia lebih baik melihat dimensi-dimensi negatif dirinya, cacat-cacat jiwanya, perilaku buruknya, ketimbang menyelami rahasia positipnya, bahkan rahasia Ilahiyah dibalik dimensi spiritualnya. Sebab ketika manusia mengenal kelemahan, cacat, kezaliman dirinya, ia akan menyadari betapa penbtingnya pembersihan jiwa. Ketika manusia melakukan proses pembersihan jiwa itulah proses positip secara ruhani otomatis masuk dalam ruhaninya.

Rahasia-rahasia Ilahiyah akan tersingkap begitu saja, manakala jiwa-jiowa kita siap menerimanya, memantulkan cermin cahaya Iolahiyah itu. Tetapi segalanya malah akan gagal, seterang apa pun cahaya itu, manakala mosaik cermin kita mengalami keburaman. Sehingga kebenaran dan nilai-nilai keagungan Ilahiyah tidak tampak dalam pantulan hidayah jiwanya.


I.               Al-Baqarah Ayat 40-41


Peringatan-peringatan Ruhani dan Hijab Akidah
“Wahai Bani Israil, ingatlah kalian akan nikmat-Ku, yang telah Aku berikan kepada kamu, dan tepatilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan hanya kepada-Ku-lah kamu menyembah (tunduk).” “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (al-Qur’an), yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama-tama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga rendah, dan hanya kepada-Ku-lah kamu bertakwa.”

Ibnu Arabi mengatakan dalam Tafsir Tasawufnya, bahwa Bani Israil sebenarnya tergolong kelompok halus Budi Ilahi (Ahlul Luthfil Ilahi), penerima nikmat hidayah dan Nubuwwah, dan karena itu, Allah mengingatkan mereka dengan kebesaran dan nikmat yang dahulu itu. Di samping mengingatkan akan perjanjian yang harus dipenuhi antara Allah dan Bani Israil.

Allah mengingatkan kembali kepada mereka karena mereka telah alpa dalam kenikmatan semu hijab akidahnya sendiri, sehingga Bani Israil merasa superior. Dan superioritas itulah yang sesungguhnya bisa menjadi tabir hubungan antara hamba dengan Allah Ta’ala.

Nikmat Tajalli Af’al dan Sifat Ilahiyah yang dihamparkan oleh Allah untuk menuju tauhid Dzat atau tersingkapnya Hijab Dzat, sangat berhubungan dengan al-Qur’an yang diturunkan di kemudian waktu, yang membenarkan Taurat. Taurat yang merupakan Tajalli Af’al, sementara al-Qur’an adalah Tajalli Sifat Allah, adalah penyempurna agar penyingkapan Dzatullah semakin dekat.

Karena itu peringatan Allah terus berlanjut, “Janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepada-Ku.” Maksudnya janganlah kamu, justru menjadi pelopor hamba Allah yang memasuki alam hijab-Ku, karena hijab akidahmu selama ini, karena kamu menjual ayat-ayat-Ku -- sebagaimana dalam Surat Ikhlas dan Ayat Kursi -- yang menunjukkan penampakan Sifat dan Dzat-Ku, dengan harga yang hina, yaitu dengan hijab yang gelap gulita darimu.

Hijab hina itu berupa sifat-sifat nafsu atau egoisme maniak yang menyeret mereka pada hedonisme atau kenikmatan fisik material belaka, di samping hasratmu pada balasan pahala amaliyah dengan pentauhidan Af’al Allah.
Karena itu hendaklah Bani Israil itu waspada adanya syirik, takutlah pula dari lecutan keperkasaan-Ku, kebesaran-Ku, hijab-Ku, dengan cara kalian meraih ridla-Ku. Karenanya janganlah kalian membuat ketetapan sifat selain Diri-Ku.



J.  Al-Baqarah Ayat 63-64

 

Pelajaran Degradasi Spiritual dari Bani Israil
Dimaksud perjanjian adalah janji yang lalu maupun yang akan datang, yang ada dalam Taurat, atau yang dialamnya ada bukti-bukti rasional melaui pentauhidan Tindakan Ilahi dan Sifat-sifat Ilahi, lalu disanalah
diangkat ke dalam kesan otak dari pemahaman hakikat makna-maknanya.
"Ketika Kami mengambil perjanjianmu dan meninggikan di atasmu bukit, "Ambillah apa yang Kami datangkan kepadamu dengan kegigihan, dan perhatikanlah apa yang di dalamnya agar kamu menjadi orang yang bertaqwa." (Q.S. Al-Baqarah : 63)
"Kemudian setelah itu kamu belokkan. Kalau bukan karena anugerah Allah kepadamu dan rahmatNya, niscaya kamu tergolong orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Baqarah : 64)

Maka terimalah apa yang Kami sampaikan di dalam Taurat yang merupakan (Al-Kitabul 'Aqly al-Furqany) dengan sikap yang serius dan gigih. Maka jagalah aturan hukum, pengetahuan, hakikat, dan syariatnya, agar kalian bisa menjaga diri dari kemusyrikan, kebodohan dan kefasikan.

Tetapi setelah itu, kamu lebih mengarah kepada orientasi kerendahan. Kalau bukan Fadhal dan Rahmat Allah melalui hidayah terhadap arah akalmu, dan RahmatNya melalui Cahaya hati dan syariatmu, pasti kalian tergolong orang yang rugi.

Ulasan
Inilah peringatan Allah kepada Bani Israil ketika kaum Nabi Musa ini mulai menyimpang dari Arah Tauhid yang hakiki, menuju arah kerendahdinaan kebodohan. Sebuah pelajaran bagi kita, agar kita tetap berpegang pada Hidayah dan Cahaya Allah yang membimbing akal dan hati kita, jangan sampai kita dibimbing oleh nafsu dan ego kita yang rendah. Karena nafsu dan ego ini merupakan hijab yang menutupi hidayah dan cahayaNya.
Hakikat makna-makna yang tercetak dibalik ayat-ayat Ilahi adalah pengetahuan dan kema'rifatan atas Tauhidnya. Tetapi eksploitasi keakuan dan nafsu telah menyeret seseorang kepada pengabaian, penolakan terhadap anugerah dan Cahaya Allah, Fadhal dan RahmatNya.

Tafsir Surat Yasin (Ayat 1-6)


YaaSiin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-rasul, yang berada di jalan lurus, sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak leluhur mereka belum pernah diberi
peringatan, karena itu mereka alpa. (Q.s. Yaasiin 1-6)

Yaasiin. Allah swt bersumpah dengan dua hal yang menunjuk kesiapan paripurnanya, sebagaimana Allah swt menyebutnya dalam surat Thaha (dan demi Al-Qur’an yang penuh hikmah) yang merupakan keparipurnaan penuh, yang selaras dengan kesiapannya, dan karena itu merupakan sebab segala perkara dari para Rasul melalui jalan Tauhid yang disifati dengan predikat Istiqomah.
Huruf (Ya’) merupakan isyarat atas NamaNya yang Maha Memelihara, dan huruf (Siin) pada Namanya As-Salaam yang menjaga keselamatan fitrah anda dari segala kekurangan di zaman Azali. Dijaga dari bencana hijab hasrat bangkit dan ibadah. As-Salaam merupakan kenyataan dan sekaligus pokok utamanya. 

Sedangkan al-Qur’an yang penuh bijaksana merupakan proyeksi atau gambaran atas keparipurnaan As-Salaam itu sendiri, yang mengintegrasikan seluruh keparipurnaan, yang mengandung berbagai hikmah agung.

Sesunggunhnya kamu (Muhammad saw.), -- disebabkan oleh tiga hal di atas – tergolong orang-orang yang diutus (para Rasul).
Sebagai Wahyu dari Yang Maha Perkasa nan Penyayang, yakni Al-Qur’an yang memiliki kandungan universal bagi hikmah, yang merupakan cermin kesiapaan paripurna anda. Wahyu yang turun dengan manifestasinya, mengurai dari kandungan global atas hamparan manifestasimu, agar bisa menjadi pembeda dari Yang Maha Perkasa nan Mengalahkan, Yang Mengalahkan seluruh keakuanmu, dan sifat bangkitmu dan Maha PerkasaNya dengan kekuatanNya agar dirimu tidak “muncul”, serta menghalangi munculnya Al-Qur’an yang tersembunyi dalam batinmu pada tempat hamparan hatimu, serta proyeksi sebagai pembeda.

Allah Yang Maha Penyayang, Yang  memanifestasikan sifat PenyayangNya padamu melalui penampilan nyata Sifat-sifat keparipurnaan dengan segala pirantinya.

Agar kamu memberi peringatan kepada kaum, dimana bapak leluhurnya belum pernah meraih keparipurnaan sebagaimana – seharusnya  ada pada --kesiapan paripurna mereka.  Dan mereka belum pernah mendapatkan peringatan sebagaimana peringatanmu kepada mereka.

“Dan mereka dalam keadaan alpa” atas apa yang diturunkan pada mereka, karena mereka tidak memiliki kesiapan sampai batas paripurna.

Tafsir Surat Yasin (Ayat 7-12)


Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby
“Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, maka mereka tidak beriman. Sesungguhnya Kami  telah memasang belenggu di leher mereka lalu tangan mereka diangkat ke
dagu, maka karena itu mereka tertengadah.  Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, maka Kami tutup mereka lalu mereka tidak bisa melihat.
Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang yang mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Rahman dengan batin ghaibnya, maka berilah kabar gembira  dengan ampunan dan pahala yang mulia
 (dari Tuhannya). Sesungguhnya Kami menghidupkan yang mati dan Kami menuliskan apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan  dalam Kitab Induk yang nyata.” (Q.s. Yaasiin 7-12)

(Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka,)  telah berlaku ketentuan Allah Ta’ala bahwa mereka adalah golongan orang-orang celaka.
(Maka mereka tidak beriman.) Sebab manakala kesiapan-kesiapan munculmu menguat kokoh, menguat pula bencana celaka mereka dalam kejahatan, sebagaimana menguatnya orang-orang yang diberi kebahagiaan dakam kebajikan.

(Sesungguhnya Kami  telah memasang belenggu di leher mereka) berupa belenggu watak laghiriyah kesenangan badani dan menyenangi dosa-dosa yang hina.

(Lalu tangan mereka diangkat ke dagu,) yang menghalangi kepala mereka untuk menunduk, menerima anugerahNya, karena leher mereka yang merupakan ruas-ruas menyambung ke kepala, hingga batas kepala itu dari bawah, sampai menolak penerimaan hidayah, tidak bisa dipengaruhi oleh aktivitas, tidak bisa condong untuk rukuk dan sujud dalam rangka pefanaan. Karena proses kepatripurnaan manusia tidak akan berhasil kecuali dengan rasa hina dina di hadapanNya, serta remuk redam jiwanya.

(Maka karena itu mereka tertengadah.) Terhalang dari kemampuan menerimaNya, sebab kepala-kepala mereka lebih mendongak.

(Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding) dari Arah Ilahi melalui hijab nafsu dan sifat-sifatnya yang menguasai hati, hingga terhalang untuk memandang ke atas dalam rangka merindukan pertemuan Al-Haq Ta’ala saat  memandang Cahaya KemahaindahanNya.

(Dan di belakang mereka dinding,)  dari arah badan kasarnya berupa hijab watak alam jasmani dankenikmatan fisik yang menghalangi atas upaya melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Sehingga mereka terhalang untuk beramal shaleh yang dinilai sebagai kebajikan.
 
Serta mereka terhalang dari Sifat-sifat JalaliyahNya (KemahabesaranNya)  maka Kami tutup mereka lalu mereka tidak bisa melihat jalan pengetahuan dan amal baik, karena mereka terpaku pada berhala-berhala badan dengan penuh kekacauan ketika menyembahnya. Berhala yang tidak memiliki kemampuan apa-apa.

(Maka Kami tutup mereka)  dengan Kami tenggelamkan dalam alam imajiner serta terlingkup oleh pakaian-pakaian fisik).
 
( Lalu mereka tidak bisa melihat.) disebabkan oleh tebalnya hijab dari berbagai arah yang melingkupi mereka, hingga mereka tak melihat apa pun dan tak ada bekas-bekasnya, lalu ada peringatan maupun tidak tetap saja sama.

(Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan) yakni memberi pengaruh peringatan tersebut (kepada orang yang mengikuti peringatan) karena cahaya kesiapan dan sifat-sifatnya, yang menyebabkan pengaruh hidayah atas kesiapan menerimanya, berupa Tauhid Fitri, dan Ma’rifat Orisinal, hingga mereka berdzikir dan (takut kepada Tuhan Yang Maha Rahman dengan batin ghaibnya,)  yang tervisualkan melalui keagunganNya dengan ketersembunyian TajalliNya, lalu mereka menempuh jalan agar sampai kepada yang tak tampak di matanya, namun bisa melihat melalui CahayaNya.

(Maka berilah kabar gembira  dengan ampunan) yang agung karena Allah telah membuka hijab tindakanNya, Sifat dan DzatNya.

(Dan pahala yang mulia (dari Tuhannya).  Dari sisi TindakanNya, Sifat dan DzatNya itu.
Sesungguhnya Kami menghidupkan yang mati dan Kami menuliskan apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan  dalam Kitab Induk yang nyata.

Tafsir Surat Yasin (Ayat 13-19)


Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby
Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka, (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya, kemudian
Kami kuatkan dengan utusan yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: ”Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.”
Mereka menjawab, “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka.”
Mereka berkata, “Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu, dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.”

Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapatkan siksaan yang pedih dari kami.”

Utusan-utusan itu berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”

Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby mengatakan, bahwa penduduk negeri dalam perumpaan itu adalah “penduduk negeri fisik”, dan utusan-utusan yang berjumlah tiga itu, adalah Ruh, Qalbu dan Akal.

Namun Ruh dan Qalbu tetap saja tidak membuat mereka terbuka, karena mereka tidak bisa berkelindan secara konjungtif, yang menyebabkan penduduk alam fisik dengan nuansa serba materi itu mendustakan utusan-utusan tersebut. Dan mereka pun kontra dalam soal cahaya dan kegelapan. Lalu dikuatkan dengan utusan akal, yang berkorelasi dengan nafsu dalam soal kemaslahatan dan kesuksesan.
Pada ayat di atas menjadi pelajaran berharga bagi kondisi dunia hari ini, kondisi Indonesia hari ini, kondisi masyarakat dan ummat kita hari ini, dan kondisi keluarga serta individu kita masing-masing.

Runtuhnya suatu bangsa-bangsa di dunia, maupun runtuhnya individu dan ummat, karena mereka terperosok oleh materialisme dan serba hedonis dalam cakrawala pandang mereka. Sehingga cahaya Ruh dan Qalbu yang menjadi limpahan dari Cahaya Ilahiyah, senantiasa ditolak, kalau perlu malah dihancurkan.

Kata “Rajam” biasanya ada hubungannya dengan sebuah sanksi fisik yang dilakukan dengan melempar batu. Metafor “rajam” dari para pengingkar itu, menunjukkan betapa hati mereka telah membatu dan digunakan sebagai senjata untuk melawan terangnya cahaya Qalbu dan Ruh.

Sebuah tragedi negeri mana pun atau ummat Islam sendiri, semata karena tiga tonggak dalam bangunan kepribadian spiritualnya runtuh: Ruh, Qalbu dan Akal.

Akal, digambarkan sebagai “utusan ketiga” karena dua utusan sebelumnya tidak dianggap masuk akal. Toh penjelasan akal rasional pun mereka tolak karena kegelapan sudah menyelimuti qalbu dan ruh mereka.

Akal sepertinya senjata terakhir karena akal masih berhubungan dengan timbangan nafsu yang bicara sukses dan gagal. Itupun ditolak juga.

Kaum matererialis senantiasa menolak kehadiran cahaya ruhani, karena mereka berfikir jika cahaya hadir, seluruh kegelapan nafsu yang selama ini mereka jadikan pegangan dan ideologi, belum lagi dukungan tipu muslihat atas nama politik, atas nama strategi, atas nama Tuhan sekali pun.

Psikologi manusia modern telah diaduk-aduk oleh kegelapan, dan muncul nuansa kelabu yang dinilai oleh mereka sebagai “janji penyelamatan manusia”. Padahal apa pun alasannya mereka telah mengalami kesesatan yang jauh.

Tafsir Surat Yasin (Ayat 21-36)


Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby
“Dan suatu tanda kekuasaan Allah bagi mereka adanya malam, Kami tanggalkan siang dari malam itu, tiba-tiba mereka dalam kegelapan.”
Suatu tanda kebesaran Allah swt, adalah “malam kegelapan nafsu”
 yang ditanggalkan oleh “siangnya cahaya matahari ruh” dan ragam kondisi ruhani, tiba-tiba mereka berada dalam kegelapan hijab. Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah takdir dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. “Matahari ruh” yang berjalan pada edar maqomnya, yaitu Maqom Al-Haq swt,  dalam akhir perjalanan ruh.
Semua itu adalah takdir Yang Maha Perkasa, dimana KeperkasaanNya yang bisa menghalangi mereka untuk sampai ke Hadhirat AhadiyahNya, Yang Mengalahkan segalaNya dengan Sifat PaksaNya dan kefanaan makhlukNya. Allah Yang Maha Tahu, yang mengetahui batas kesempurnaan setiap perjalanan dan akhirnya.
Dan telah Kami tetapkan rembulan, manzilah-manzilah, sehingga ketika sampai pada manzilah terakhir kembalilah dia sebagaimana bentuk tandan yang tua.
Sedangkan  “Rembulan Qalbu” Kami tetapkan peredaran dalam perjalanannya menempuh maqomat (manazil-manazil) antara lain seperti maqom al-Khauf, Ar-Raja’, Sabar, Syukur, dan seluruh maqomat semisal Tawakal, dan Ridlo, sehingga kembali ketika fana’ dalam ruhnya di dalam maqom Sirr, “sebagaimana tandan yang matang”, yang menggambarkan kematangan jiwa dengan kecerahan wajah hati yang mengiringi Ruh sebelum sempurna kefanaannya, dan ketiuka terhijab cahayanya oleh nafsu dan kekuatan dirinya. Dan posisinya sebagai “purnama” karena posisinya ada di dalam dada yang berhadapan dengan maqom Sirr.
Tidak layaklah matahari bertemu bulan, dan tidak pula malam  mendahului siang. Dean masing-masing berada dalam garis edarnya.
Tidak layaklah matahari “ruh” bertemu bulan qalbu, dalam perjalanan ruhaninya , sehingga meraih keparipurnaan batin berupa sifat meliputi keseluruhan semesta, dan tajalli dengan Akhlaq dan Sifat. Dan tidak pula malam  mendahului siang, dengan pertyemuan matahari dan bulan, serta perubahan kegelapan nafsu menjadi siangnya cahaya qalbu.
Karena rembulan qalbu ketika menanjak ke maqom ruh,  maka ruh akan sampai ke Hadhirat Wahdah (Kestauan) makanya tidak akan bertemu.
Pada saat itulah nafsu menjadi luapan api dalam qalbu yang tak lagi berada dalam kegelapannya, dan kegelapannya tidak akan melampaui cahanya, bahkan kegelapannya sirna. Hanya saja Qalbu dan cahanya berada di maqom Ruh, makanya tidak akan mendahuluinya menurut ketentuan baqo’Nya maqom Ruh.
Dan masing-masing berada dalam garis edarnya, berjalan, dengan ketentuan dalam awal perjalanan dan akhirnya, yang tidak melampaui dua kenyataan, berjalan sampai Allah swt memadukan antara dua ketentuan itu dalam satu garis, lalu rembulan sirna dan matahari terbit dari arah tenggelamnya, ketika itulah qiyamat tiba.
Dan suatu tanda bagi mereka adalah Kami angkat keturunan mereka dalam bahtera yang penuh dengan muatan.
Yaitu kapal Nuh as, yang didalamnya ada rahasia yang sangat dahsyat, dimana rahasianya tidak diceritakan oleh pendahulu mereka. Maka harus ada keluarga dan keturunan yang bersambung.
Dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu.
Sebagaimana Kapal Nuh, yaitu Kapal Muhammadiyah yang sempurna untuk dikendarai menuju kepadaNya.
Dan jika Kami menghendaki, Kami bisa tenggelamkan mereka, bagi tiada lagi penolong bagi mereka, dan tidak pula mereka diselematkan.
Tetapi (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai pada masa yang ditentukan.

 

 

Tafsir Surat Yasin (Ayat 37-44)


Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby
37. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam” kegelapan nafsu; “Kami tanggalkan siang dari malam itu,” dan cahaya matahari ruh serta aneka ragam ruhani,  maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan,

38. Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. 
“Dan matahari”  ruh, berjalan di tempat peredarannya, yaitu  Maqom Al-Haq Ta’ala dalam puncak perjalanan ruh. “Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa,”  Yang menghadang siapa pun untuk sampai ke Hadhirat AhadiyahNya, Yang Mengalahkan segalanya dengan Maha PaksaNya dan kefanaan lainNya,  “lagi Maha Mengetahui,”  kesempurnaan perjalanan dan akhir tujuan para hambaNya.

39. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan Yang tua 1268).
“Dan telah Kami tetapkan  “ perjalanan  dalam orientasi  perjalanan jiwanya, “bagi bulan” Qalbu,  berbagai “manzilah-manzilah,” seperti Khouf, Raja’ Sabar, Syukur,  dan sejumlah maqomat seperti Tawakkal,  dan Ridho, “ sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)”  saat fana’ dalam ruh di maqom rahasia ruh (sirr), ” maka kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua,” yang menyerupai kebahagiaan di dalamnya dan kecerahabn  wajahnya yang memasuki gerbang Ruh sebelum sempurna, sekaligus ketersembuntyiannya dari nafsu dan potensi dari pencahayaanNya. Bahwa kemudian ia menjadi purnama, karena posisinya dalam dada yang sedang menghadap ke maqom Sirr.

40. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. 
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan” dalam perjalanannya, hingga ia meraih kepairpurnaan dada ruhaniyah yang meliputi kondisi semesta raya, dan menjadikan dirinya sebagai Tajally Akhlaq (Ilahi) dan Sifat. “Dan malampun tidak dapat mendahului siang,” dengan bertemunya bulan pada matahari, serta berubahnya kegelapan nafsu menjadi siangnya cahaya Qalbu. 
Karena rembulan qalbu ketika menanjak ke maqom ruh, maka ruh sampai pada Hadlratul Wahdah (hadirat Kesatuan), hingga tidak akan pernah bertemu. Pada saat itulah Nafsu menjadi  api penerang  di Maqom Qalbu, hingga tidak ada kegelapan baginya, dan sebaliknya kegelapan nafsu tidak melampaui cahaya qalbu, bahkan kegelapan jadi sirna.  Hanya saja, Qalbu dan cahayanya berada di Maqom Ruh.  Sama sekali, Qalbu tidak melampui batas keabadian maqom Ruh. “Dan masing-masing beredar” di posisi perjalanannya, tertentukan di awal mula dan akhirnya, satu sama lain tidak saling melampaui “ pada garis edarnya,” sampai Allah swt memadukan diantara keduanya dalam satu batas, dan bulan jadi gerhana, lalu matahari terbit dari barat (tempat tenggelamnya), lalu jadilah qiyamat.

41. Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan.
“Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan,” yaitu bahtera Nuh yang di dalamnya ada rahasia dibalik rahasia yang nyata, yang tidak pernah tersebutkan oleh leluhur mereka, bahkan keluarga mereka yang ada kandungan mereka, hingga harus adanya keluarga-keluarga saat itu.

42. Dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu.
“Dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu,” seperti metaphor bahtera Nuh, yaitu Bahtera Al-Muhammadiyyah yang bisa mereka kendarai.

43. Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan.
Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan.

44. Tetapi (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai kepada suatu ketika.
Tetapi (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai kepada suatu ketika.

Tafsir Surat Yasin (Ayat 45-59)


Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby
45. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Takutlah kamu akan siksa yang di hadapanmu dan siksa yang akan datang supaya kamu mendapat rahmat”, (niscaya mereka berpaling).

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Takutlah kamu akan apa yang di hadapanmu”  berupa kiamat Kubro, dan siksa yang akan datang, (berupa kiamat shughro). Kiamat yang pertama dating dari arah Allah Azza wa-Jalla, sedangkan kiamat kedua datang dari arah diri melalui fana’ dalam Allah swt, di dunia, berikutnya menyendiri dari situasi dan kondisi fisik dan menyemalatkan diri darinya.  Agar kamu mendapat rahmat”,
46. Dan sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya.Dan sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya. (Mereka berpaling karena tertirai hijab, yang menimbulkan kontra kepada Allah swt, sebab nafsu mereka mengkristal dalam hijab itu sendiri sehingga mereka tersiksa.)
47. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari rezki yang diberikan Allah kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata”.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari rezki yang diberikan Allah kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata”.
Mereka tersesat karena mereka berkata dari kegelapan jiwanya. Kegelapan nafsu dan jasad, yang terus menerus membangun sikap sinis kepada Ketuhanan Allah swt., kekuasaanNya dan RahmatNya.
Bahasa-bahasa yang keluar dari diri mereka adalah bahasa nafsu, bahasa kesombongan, bahasa pengandalan pada “keakuan” yang telah menjadi berhala bagi mereka sendiri.
48. Dan mereka betkata: “Bilakah (terjadinya) janji ini (hari berbangkit) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” Sebuah pertanyaan sinis atas kekafiran  dirinya kepada Allah swt.
49. Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja1270) yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar.
Nafsu mereka bertengkar dengan ruh mereka, nafsu mereka menguasai diri mereka, dan dikipas-kipas oleh syetan.
50. Lalu mereka tidak kuasa membuat suatu wasiatpun dan tidak (pula) dapat kembali kepada keluarganya.
Keadaan orang-orang mu`min di hari kiamat.
51. Dan ditiuplah sangkakala1271), maka tiba-tiba mereka ke luar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.
52. Mereka berkata: “Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dati tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul(Nya).
53. Tidak adakah teriakan itu selain sekali teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami.
Teriakan ketidakberdayaan, kehinaan, ketidakmampuan, dan teriakan kefakiran yang sangat mengejutkan selama ini atas diri mereka yang terbungkus oleh semesta kemakhlukannya.
54. Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.
Amal seseorang menentukan kualifikasi kema’rifatannya. Bukannya berarti amal itu sebagai visa untuk bertemu dengan Allah swt? Bukan. Namun seorang hamba harus menggantungkan diri dan mengandalkan Allah Yang Menciptakan amal bagi hambaNya.

Tafsir Surat Yasin (Ayat 60-83)


60. Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”, Bukankah Aku telah memerintahkan melalui janji di zaman Azali dalam Perjanjian Fitrah, agar kalian tidak menyembah Syetan, yaitu menyembah kegelapan hijab keragaman, dan mengikuti ajakan imajinasi.
Syetan adalah instrument Iblis, karena menurut Syeikh Abdul Karim Al-Jiily, syetan lahir dari perzinahan Iblis dengan hawa nafsu di pasar duniawi, lalu lahirlah ruibuan syetan yang menjadi alat hijab itu.

61. Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Ini lah jalan yang lurus.
Jalan yang lurus adalah Jalan Penyatuan Musyahadah dalam kefanaan hamba menuju Baqa’Nya. Itulah puncak  maqom Tauhid.

62. Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar di antaramu. Maka apakah kamu tidak berakal sehat?
Penyesatan syetan dari satu generasi ke generasi, adalah usahanya terus menerus agar manusia masuk dalam hijab kegelapannya, dan jauh dari Nur Tauhid itu sendiri, sehingga ia tidak menyadari akan Perjanjian Fitrahnya, ketika masih menjadi Ahsanu Taqwim, sebaik-baik makhluk.
Akal sehat adalah wujud matahati yang memandang dengan Nur Ilahi. Bila akal sehat berapresiasi, maka ia mampu menembus tirai-tirai kegelapan. Sebab puncak kegelapan itulah yang disebut dengan Jahanam.

63. lnilah Jahannam yang dahulu kamu diancam (dengannya).
64. Masuklah ke dalamnya pada hari ini disebabkan kamu dahulu mengingkarinya.
Masuklah dengan jubah kegelapan syetanmu, yang melemparkan dirimu jauh dari CahayaNya, apalagi penyatuan dalam ma’rifatNya.
Disebutkan bahwa setiap orang kafir ada sumur di neraka yang
 
mereka ada di dalamnya, namun ia tidak tahu dan tidak mengerti, dan itulah gambaran penghijaban gulita yang ada pada diri mereka.

65. Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.
Tangan dan kaki akan menampakkan bentuk perilaku mereka
 
dengan watak dan sifatnya, sehingga tidak satu pun yang terdustakan di sini. Sementara mulut terkunci. Yang berbicara bukan lagi mulutnya tetapi perilakunya, sesuai dengan  watak naluri perbuatannya.

66. Dan jikalau Kami menghendaki pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka; lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan. Maka betapakah mereka dapat melihat(nya).

67. Dan jikalau Kami menghendaki pastilah Kami rubah mereka di tempat mereka berada; maka mereka tidak sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) sanggup kembali.
Itu karena mereka tidak memandang dengan mata hati, tetapi mata hijabnya yang justru membutakan matahatinya. Begitu juga  mereka berposisi dengan posisi nafsunya, dengan ambisi hijab duniawinya, hijab kesenangannya, hijab keakuannya.
68. Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?
Maksudnya adalah kejadian utama di seperti di zaman Azali dulu.

69. Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.

70. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir.
Karena Rasulullah saw, adalah  Dzikir dan Al-Qur’an yang nyata itu sendiri, sebagaimana disebutkan, “Akhlaqnya adalah Al-Qur’an”. Hidupnya hati dengan Dzikrullah, karena Dzikrullah yang hakiki adalah hidupnya Al-Qur’an.

71. Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?

72. Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan.

73. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?
Tetapi sebaliknya, mereka malah menjadi layaknya binatang-binatang, yang hanya menyembah nafsunya sendiri, egonya sendiri, kebinatangannya sendiri, bahkan ia telah menjadi kendaraan bagi para binatangnya sendiri. Nafsu itu bersumber pada kebuasan dan kebinatangan hewaniyah, yang di satu sisi bisa menumpahkan darah, kekerasan, dan di sisi lain bisa menghancurkan bumi dan isinya karena hewaniyahnya yang liar dalam pemuasan.
Mereka memilki berhala-berhala hijab yang dipatungkan dalam nafsu mereka, dan diagungkan dalam imajinasi khayal mereka. Itulah yang disebut ayat berikut:

74. Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan.
75. Berhala-berhala itu tiada dapat menolong mereka; padahal berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka.
Karena berhala itu hanyalah imajiner, tuhan khayalan, dan mimpi di atas mimpi yang menyeret mereka dalam ambisi nafsunya, seakan-akan dengan ego dan keakuannya mereka bisa hebat, bisa menguasai dunia, bisa menaklukkan makhluk. Bagaimana sesuatu yang mustahil akan mendapatkan pertolongan dari kemustahilannya?

76. Maka janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.
Pertolongan hanya dari Allah Ta’ala, dan makhluk itu tak berdaya, tak memiliki kemampuan apa-apa. Jangan sampai kegelapan makhluk menjadikan ancaman bagi kesedihan, karena kegelapan makhluk adalah kehinaan itu sendiri.
 

77. Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari Setitik air (mani), maka tiba-tiba Ia menjadi penantang yang nyata!
Ketidaksadaran akan bahan bakunya yang hina, justru semakin menyombongkan mereka. Dan kesombongan adalah bentuk kontra terhadap Penciptanya. Setiap orang yang menyombongkan dirinya, pasti merasa lebih dari lainnya. Dan kesombongan adalah buah dari hijab yang pertama, karena Iblis memang terus memproduksi keangkuhan dan kesombongan itu sendiri.

78. Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; Ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?”
Lapisan hijab akan terus menumpuk pertanyaan sinis kepada kebenaran dan hakikatnya. Bagaimana mereka sampai bertanya demikian? Mereka pasti alpa bahwa sebelumnya mereka bukan apa-apa dan tidak ada.

79. Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk,

80. yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.”
Allah swt, dengan Maha KuasaNya, tentu berkehendak apa saja yang Dia KehendakiNya. Manusia kafir hanya bisa mengaku-aku, mengklaim, merasa berdaya dan kuat.

81. Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar. Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.
Tidak ada yang tidak diketahui oleh Allah swt, karena Allah swt, Maha Meliputi segalanya. Apakah segalanya ini bisa menghijab Allah swt, sedangkan segalanya hanyalah ciptaanNya?
 

82. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. KehendakNya pada sesuatu, akan terjadi tanpa jarak rentang waktu maupun ruang.

83. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
 

Maha Suci Allah dari kelemahan, Maha Suci dari serupa dengan jasad dan fisik, dimana fisik itu berhubungan dengan ruang dan waktu, yang justru ada di TanganNya. Segala semesta ada di KekuasaanNya, dan hanya kepadaNya lah segalanya berfana’ dan berakhir.
Wallahu A’lam.
·          

0 komentar:

Posting Komentar